KANDAS - Cerita Pendek (Cerpen)



Senyap malam kali ini tiada tanding. Jangkrik seolah enggan adu suara tak seperti sedia kala. Malam yang panjang pun akan berlalu juga, desahku. Berbaring di atas dipan lalu berdiri menghadap bulan, kuulangi aktivitas seperti orang linglung tersesat di pikiran sendiri. Apa yang kau sesali? Bukankah semua ini inginmu? Sudah terjadi kenapa malah bersedih? Batinku seolah meronta-ronta tak sanggup menerima keputusan yang kuambil siang tadi kala perdebatan panjang dengan Ibu.

Tok..tok…tok…,
Mas..” suara lirih ibu terdengar di balik pintu kayu sebuah kamar kecil yang ku huni.
Tak apa, ibu akan baik-baik saja tadi hanya terbawa emosi. Pergilah Mas, kejar anganmu”, wanita renta itu mengakhiri ucapannya lalu berdeham pelan. Lambat laun tak terdengar suara sama sekali.
Aku berjalan menghampiri sosok di balik pintu yang ku yakin masih menunggu kehadiranku.

Aku pasti pulang bu, tak usah gusar hati mu. Anakmu ini tahu diri. Kelak saat aku pulang ku belikan songket seperti Bi Endah yang sudah ibu incar sedari lama
Bukan hartamu yang ibu inginkan kembali, Mas. Pulanglah bersama hayatmu
Ku peluk erat tubuh wanita separuh baya yang kian dimakan usia. Sejak menjanda tak lagi ia peduli penampilannya. Bermodalkan usaha gorengan dari warung ke warung ibu berjuang menafkahi tiga anaknya. Dua adikku yang masih berumur tujuh dan sepuluh tahun, dan aku pria yang baru genap berumur 18 tahun yang masih menjadi beban ibu. Sial.
Kerja serabutan yang kujalani sejak bertahun-tahun lalu tampaknya tak cukup membantu meringankan beban ibu. Tak kuasa melihatnya menangis saat sunyi menjadi temannya menghapus pilu.

Aku akan ke ibukota mengadu nasib” satu kalimat yang berujung pada berjuta-juta penolakan dari Ibu. Sudah kuyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, mengumpulkan pundi-pundi rezeki, lalu pulang dengan selamat.
Tapi ibu sama seperti ku, sama-sama keras kepala. Saat berbeda pandangan ia tak mau kalah. Dan malam ini keputusan yang terlontar dari mulut ibu bukan keputusasaan, aku tahu beliau diam-diam menaruh harap pada anak sulungnya ini.

Kutitip ibu dan adik-adikku”. Suaraku bergetar, sontak suasana menjadi syahdu.
Kita akan bertemu dengan keadaan sehat dan selamat. Aku akan baik-baik saja” ucapku sembari pamit, sungguh ibu tak kuasa menahan deraian air mata. Ia hanya mengangguk sambil memeluk erat kedua adikku. Mereka melambai melihat kepergianku, hilang diujung jalan.

Kususuri jalan yang sesak dipenuhi orang-orang dari segala arah. Sampailah aku di ibukota, di sana-sini berseliweran segala manusia dengan beragam rupanya. Para perantau dengan jinjingannya sama sepertiku, sopir dan kernet bis dengan wajah hitam dengan minyak kental menempel terlihat jelas. Pedagang terminal yang menjajakan makanan yang tak lagi segar akibat polusi Jakarta yang memabukkan. Sampailah aku di Jakarta.

Perut kosong diisi, kalau mati gak ada yang peduli.
Celotehan juru parkir setahun silam yang membuatku semakin gigih cari duit. Kerasnya hidup memang sudah ditakdirkan jadi bagian ku. Tak terasa hampir lima tahun mengadu nasib, meninggalkan kampung halaman dan orang tersayang demi mengais rezeki. Tepat seminggu lagi Pamungkas akan pulang. Sejak ia menapak di ibukota, sudah ia janjikan lima tahun lagi penantiannya untuk segera pulang akan berakhir. Seminggu lagi, rasanya lama sekali. Setahun belakangan ia bekerja dua kali lipat dari sebelumya. Mengambil proyek lebih banyak agar pemasukan semakin tebal. Tak disangka kesibukannya di luar membuatnya tak punya banyak waktu untuk memikirkan hal lain.

Melodi... Lama sudah tidak bertutur kata, sejauh hati ini merindu hanya bulan yang menjadi saksi. Apa kabarmu di sana? Aku merindu. Ku bisikkan kalimat cinta lewat angin malam, ku harap sampai ke daun telingamu adinda. Senyumku mekar membayangkan jelitanya wanitaku.

Matahari pagi menyingsing lewat celah kamar kontrakan ku yang hanya sepetak. Pagi ini mentari menyentuh pipiku dengan lembut hingga aku terbuai. Aku termenung sesaat lalu bangkit dari tidurku, menuju sepucuk surat yang kuterima tadi malam. Surat beramplop merah yang dititip tukang pos kepada penjaga kontrakan saat keberadaanku tak ditemukannya di alamat yang tertera pada sisi kiri atas surat.
Sengaja ku biarkan surat itu bermalam. Rasanya harus ku pupuk dulu seluruh rindu ku pagi ini agar siap menyambut kecupan hangat Melodi yang pasti ia selipkan lewat tulisan indahnya.

Apa kabar mu Mas?
Adinda mu menunggu tak jemu-jemu, lama tak kau kirimi aku cintamu
Tak mungkin kau berpaling, mungkinkah hiruk-pikuk ibu kota memaksamu perlahan menjauhi ku?
Apa gerangan tak ku terima sapaan manismu lewat sepucuk surat yang selalu kuidam-idamkan?
Katamu, kita harus saling menunggu. Bertemu dengan keadaan sehat dan selamat. Namun, ketiadaanmu membuat ku gundah gulana. Seberapa jauh sudah kau berkelana?

Mas Pamungkas yang ku cinta, adinda mu selalu mencinta asal kau tahu.
Tak ada satu pun pria yang mampu melengserkan nama mu. Tapi aku hanya gadis kampung yang tidak mengenal gemerlap ibu kota, Mas. Aku tak tahu apa yang sebenarnya kau kerjakan. setahun sudah kita tak bersua. Terakhir kali kau berpesan untuk sementara menabung rindu, jangan dulu sering bertukar surat karena kau akan kembali dan puncak rindu yang kita rasakan akan semakin emosional. ku kira sebulan kemudian kau akan menampakkan wujudmu di hadapanku. Dua bulan, tiga, empat, bahkan setahun sudah tak berujung penantianku. Tak pun kau kirimi aku surat sebagai ralat.

Aku merindu Mas, tidakkah kau rasa?
Rinduku tak akan habis, ku yakin kau tahu. Namun, melalui surat yang mungkin akan menjadi surat terakhirku, biarkan ku perjelas rinduku mungkin tiada berujung tapi tak akan lagi kubiarkan kau tahu.
Aku akan menikah dengan Mas Bram pekan depan. Ayah-Ibu ku tak lagi sanggup menunggu kedatangan mu Mas. Aku berada diposisi serba salah. Sudah lelah mulut ini berbusa menentang perjodohan tanpa cinta ini. Tapi asal kau tahu, tiga bulan lalu Ayahku hampir meninggal karena gadisnya berjuang mempertahankan mu, seseorang di ibukota yang entah masih merindu denganku atau sudah melupa barangkali. Mempertahankamu membuatku harus melawan seseorang yang selama ini sagat ku hargai. Namun, melihatnya hampir tak bernafas mebuatku takut Mas. Tak mendapat kabarmu sebenarnya membuat ku lebih takut.

Aku berada di posisi serba salah. Mas Bram sudah banyak membantu keluarga kami, ku anggap pernikahan ini sebagai balas budi karena cinta ku hanya pada mu.
Maafkan adindamu yang tak lagi mampu berjuang. Aku lelah Mas. Ku pilih mengakhiri semuanya bahkan sebelum menyentuh garis finish.
Baik-baiklah di sana. Pulang saat kaki mu menuntun. Ibu dan adik-adikmu mengharapkan kepulangamu.

                                                                                                                                    Adindamu,

                                                                                                                                    Melodi


Tukkk…..
Semua terjadi begitu cepat. Pamungkas memukul dadanya yang seolah berhenti berdetak, sesaat organ itu seperti lupa berfungsi. Mentari tak lagi sama menyilaukannya, hanya gelap yang tersisa meski bulan sudah tiada. Berujung duka, saat suka yang ia kejar hampir di depan mata. Pulang dan mengecup kekasih hatinya tidak lagi menjadi relevan, realita menghempaskan kembali dirinya pada kesakitan. Semesta begitu kejam menistakan guratan cinta yang tercipta kala pertemuan pertama. Cinta yang adalah takdir tak ubahnya seperti penantian yang berujung kesia-siaan, setidaknya Pamungkas percaya akan hal ini. Mulutnya menganga, tangannya gemetar, matanya melotot seakan lupa untuk berkedip.
Posisinya tak berubah, barangkali cicak di dinding pun merasakan atmosfir tidak biasa itu. Detik berlari menghampiri menit, namun kepedihan tak kunjung berpaling. Pamungkas masih mematung layaknya pameran sebuah ukiran. Bergeming hingga semut enggan untuk bersuara nyaring.

Pamungkas masih bersama hatinya yang patah.
Retak, tak lagi dapat kembali sempurna.
Ada yang berubah, tapi bukan sementara
Ada yang hilang, dan untuk selamanya.


-devi Simbolon


Postingan populer dari blog ini

Happy Birthday to Me and You!

Untuk Eyang Sapardi Djoko Damono

Kata-kata Untuk Pertemanan