KANDAS - Cerita Pendek (Cerpen)
Tok..tok…tok…,
“Mas..”
suara lirih ibu terdengar di balik pintu kayu sebuah kamar kecil yang ku huni.
“Tak apa, ibu
akan baik-baik saja tadi hanya terbawa emosi. Pergilah Mas, kejar anganmu”,
wanita renta itu mengakhiri ucapannya lalu berdeham pelan. Lambat laun tak
terdengar suara sama sekali.
Aku berjalan menghampiri sosok di balik pintu yang ku
yakin masih menunggu kehadiranku.
“Aku pasti
pulang bu, tak usah gusar hati mu. Anakmu ini tahu diri. Kelak saat aku pulang
ku belikan songket seperti Bi Endah yang sudah ibu incar sedari lama”
“Bukan hartamu
yang ibu inginkan kembali, Mas. Pulanglah bersama hayatmu”
Ku peluk erat tubuh wanita separuh baya yang kian
dimakan usia. Sejak menjanda tak lagi ia peduli penampilannya. Bermodalkan
usaha gorengan dari warung ke warung ibu berjuang menafkahi tiga anaknya. Dua
adikku yang masih berumur tujuh dan sepuluh tahun, dan aku pria yang baru genap
berumur 18 tahun yang masih menjadi beban ibu. Sial.
Kerja serabutan yang kujalani sejak bertahun-tahun
lalu tampaknya tak cukup membantu meringankan beban ibu. Tak kuasa melihatnya
menangis saat sunyi menjadi temannya menghapus pilu.
“Aku akan ke
ibukota mengadu nasib” satu kalimat yang berujung pada berjuta-juta penolakan
dari Ibu. Sudah kuyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, mengumpulkan
pundi-pundi rezeki, lalu pulang dengan selamat.
Tapi ibu sama seperti ku, sama-sama keras kepala. Saat
berbeda pandangan ia tak mau kalah. Dan malam ini keputusan yang terlontar dari
mulut ibu bukan keputusasaan, aku tahu beliau diam-diam menaruh harap pada anak
sulungnya ini.
“Kutitip ibu dan
adik-adikku”. Suaraku bergetar, sontak suasana menjadi syahdu.
“Kita akan
bertemu dengan keadaan sehat dan selamat. Aku akan baik-baik saja” ucapku
sembari pamit, sungguh ibu tak kuasa menahan deraian air mata. Ia hanya
mengangguk sambil memeluk erat kedua adikku. Mereka melambai melihat
kepergianku, hilang diujung jalan.
Kususuri jalan yang sesak dipenuhi orang-orang dari
segala arah. Sampailah aku di ibukota, di sana-sini berseliweran segala manusia
dengan beragam rupanya. Para perantau dengan jinjingannya sama sepertiku, sopir
dan kernet bis dengan wajah hitam dengan minyak kental menempel terlihat jelas.
Pedagang terminal yang menjajakan makanan yang tak lagi segar akibat polusi
Jakarta yang memabukkan. Sampailah aku di Jakarta.
Perut kosong diisi, kalau
mati gak ada yang peduli.
Celotehan juru parkir setahun silam yang membuatku
semakin gigih cari duit. Kerasnya hidup memang sudah ditakdirkan jadi bagian
ku. Tak terasa hampir lima tahun mengadu nasib, meninggalkan kampung halaman
dan orang tersayang demi mengais rezeki. Tepat seminggu lagi Pamungkas akan
pulang. Sejak ia menapak di ibukota, sudah ia janjikan lima tahun lagi
penantiannya untuk segera pulang akan berakhir. Seminggu lagi, rasanya lama
sekali. Setahun belakangan ia bekerja dua kali lipat dari sebelumya. Mengambil
proyek lebih banyak agar pemasukan semakin tebal. Tak disangka kesibukannya di
luar membuatnya tak punya banyak waktu untuk memikirkan hal lain.
Melodi... Lama sudah tidak bertutur kata, sejauh hati
ini merindu hanya bulan yang menjadi saksi. Apa kabarmu di sana? Aku merindu.
Ku bisikkan kalimat cinta lewat angin malam, ku harap sampai ke daun telingamu
adinda. Senyumku mekar membayangkan jelitanya wanitaku.
Matahari pagi menyingsing lewat celah kamar kontrakan
ku yang hanya sepetak. Pagi ini mentari menyentuh pipiku dengan lembut hingga
aku terbuai. Aku termenung sesaat lalu bangkit dari tidurku, menuju sepucuk
surat yang kuterima tadi malam. Surat beramplop merah yang dititip tukang pos
kepada penjaga kontrakan saat keberadaanku tak ditemukannya di alamat yang
tertera pada sisi kiri atas surat.
Sengaja ku biarkan surat itu bermalam. Rasanya harus
ku pupuk dulu seluruh rindu ku pagi ini agar siap menyambut kecupan hangat Melodi
yang pasti ia selipkan lewat tulisan indahnya.
Apa kabar mu Mas?
Adinda mu menunggu tak
jemu-jemu, lama tak kau kirimi aku cintamu
Tak mungkin kau berpaling,
mungkinkah hiruk-pikuk ibu kota memaksamu perlahan menjauhi ku?
Apa gerangan tak ku terima sapaan
manismu lewat sepucuk surat yang selalu kuidam-idamkan?
Katamu, kita harus saling
menunggu. Bertemu dengan keadaan sehat dan selamat. Namun, ketiadaanmu membuat
ku gundah gulana. Seberapa jauh sudah kau berkelana?
Mas Pamungkas yang ku cinta,
adinda mu selalu mencinta asal kau tahu.
Tak ada satu pun pria yang
mampu melengserkan nama mu. Tapi aku hanya gadis kampung yang tidak mengenal
gemerlap ibu kota, Mas. Aku tak tahu apa yang sebenarnya kau kerjakan. setahun
sudah kita tak bersua. Terakhir kali kau berpesan untuk sementara menabung
rindu, jangan dulu sering bertukar surat karena kau akan kembali dan puncak
rindu yang kita rasakan akan semakin emosional. ku kira sebulan kemudian kau
akan menampakkan wujudmu di hadapanku. Dua bulan, tiga, empat, bahkan setahun
sudah tak berujung penantianku. Tak pun kau kirimi aku surat sebagai ralat.
Aku merindu Mas, tidakkah
kau rasa?
Rinduku tak akan habis, ku
yakin kau tahu. Namun, melalui surat yang mungkin akan menjadi surat terakhirku,
biarkan ku perjelas rinduku mungkin tiada berujung tapi tak akan lagi kubiarkan
kau tahu.
Aku akan menikah dengan Mas
Bram pekan depan. Ayah-Ibu ku tak lagi sanggup menunggu kedatangan mu Mas. Aku berada
diposisi serba salah. Sudah lelah mulut ini berbusa menentang perjodohan tanpa
cinta ini. Tapi asal kau tahu, tiga bulan lalu Ayahku hampir meninggal karena gadisnya
berjuang mempertahankan mu, seseorang di ibukota yang entah masih merindu
denganku atau sudah melupa barangkali. Mempertahankamu membuatku harus melawan
seseorang yang selama ini sagat ku hargai. Namun, melihatnya hampir tak
bernafas mebuatku takut Mas. Tak mendapat kabarmu sebenarnya membuat ku lebih
takut.
Aku berada di posisi serba
salah. Mas Bram sudah banyak membantu keluarga kami, ku anggap pernikahan ini
sebagai balas budi karena cinta ku hanya pada mu.
Maafkan adindamu yang tak
lagi mampu berjuang. Aku lelah Mas. Ku pilih mengakhiri semuanya bahkan sebelum
menyentuh garis finish.
Baik-baiklah di sana. Pulang
saat kaki mu menuntun. Ibu dan adik-adikmu mengharapkan kepulangamu.
Adindamu,
Melodi
Tukkk…..
Semua terjadi begitu cepat. Pamungkas memukul dadanya
yang seolah berhenti berdetak, sesaat organ itu seperti lupa berfungsi. Mentari
tak lagi sama menyilaukannya, hanya gelap yang tersisa meski bulan sudah tiada.
Berujung duka, saat suka yang ia kejar hampir di depan mata. Pulang dan
mengecup kekasih hatinya tidak lagi menjadi relevan, realita menghempaskan
kembali dirinya pada kesakitan. Semesta begitu kejam menistakan guratan cinta
yang tercipta kala pertemuan pertama. Cinta yang adalah takdir tak ubahnya
seperti penantian yang berujung kesia-siaan, setidaknya Pamungkas percaya akan
hal ini. Mulutnya menganga, tangannya gemetar, matanya melotot seakan lupa
untuk berkedip.
Posisinya tak berubah, barangkali cicak di dinding pun
merasakan atmosfir tidak biasa itu. Detik berlari menghampiri menit, namun
kepedihan tak kunjung berpaling. Pamungkas masih mematung layaknya pameran
sebuah ukiran. Bergeming hingga semut enggan untuk bersuara nyaring.
Pamungkas masih bersama hatinya yang patah.
Retak, tak lagi dapat kembali sempurna.
Ada yang berubah, tapi bukan sementara
Ada yang hilang, dan untuk selamanya.
-devi Simbolon