BJ. Habibie, Si Mata Jenaka Itu Kini Bersua Kembali Dengan Gula Jawa-nya



Setelah kepergian Ibu Negara Indonesia ke-6 mendiang Kristiani Herrawati atau akrab disapa Ani Yudhoyono pada 1 Juni 2019 lalu, Indonesia kembali mengibarkan bendera setengah tiang. Lambang berkabungnya negri ini. Ibu pertiwi kembali menangis melepas duka atas kepergian salah satu Putra terbaiknya, BJ. Habibie pada Rabu, 11 September 2019 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, bapak teknologi Indonesia juga seorang ilmuwan kelas dunia yang pola pikirnya tak main-main memandang masa depan. Cita-cita dan visi-misi nya memberantas keterpurukan bangsa ini dari segala persoalan yang terjadi. Masa jabatan BJ. Habibie sebagai presiden memang menjadi periode paling singkat dalam sejarah pemerintahan Indonesia, namun kebijakan-kebijakannya ‘bersuara’ bahkan di kancah internasional.

Wajar saja kepergian Habibie menggemparkan seluruh nusantara bahkan luar negri. Jasa, ilmu, serta pemikiran yang beliau titipkan selama hidupnya akan menjadi aset berharga sepanjang masa yang kelak akan menjadi bekal bagi anak cucu di generasi mendatang.

Kerja keras dan keringat seorang Habibie tidak pernah benar-benar kering. Beliau akan selalu menjadi hujan yang membasahi keringnya demokrasi bumi pertiwi. Beliau seorang bapak demokrasi yang berhasil melepaskan Indonesia dari jerat otoriternya sang pemerintah. Ia membuka pintu bagi setiap insan yang rindu untuk mengadu, rindu bersuara, rindu mengeluarkan segala yang mengganjal di masyarakat. Seolah tak cukup dengan gelar bapak teknologi dan bapak demokrasi, lelaki si mata jenaka yang terjebak dalam cinta si gula jawa ini turut menjadi representasi cinta dan kesetiaan.

Cinta sejati. Pelajaran berharga yang akan selalu abadi dari sang pria sejati. Tulusnya hati seorang Habibie kepada Ainun tak perlu dipertanyakan lagi. Sehidup semati dengan tambatan hati menjadi bukti BJ. Habibie tak sama dengan lelaki yang penuh dengan janji-janji tanpa realisasi.

Melalui perjalanan kisah cinta Habibie-Ainun, kita bisa belajar untuk setia mengarungi setiap lika-liku kehidupan. Rasa-rasanya kisah cinta paling epic dan legendaris sekalipun tak ada bandingannya dengan romansa cinta murni Habibie-Ainun, Romeo-Juliet nya Indonesia. Dari sosok Habibie kita bisa belajar tentang cinta yang tak harus sempurna, karena justru mereka yang selalu berusaha membuat kita berarti di atas segala kekurangan kita adalah cinta itu sendiri.
Tidak semua orang bisa tersentuh dengan kesetiaan Habibie-Ainun, nyatanya banyak yang memilih untuk memiliki dua atau lebih istri bahkan suami barangkali. Urusan untuk mencintai siapapun memang tidak etis menjadi perdebatan publik mengingat cinta dan perasaan adalah urusan privasi yang manakala muncul seringkali tanpa aba-aba. Tidak ada peringatan terlebih dahulu sebelum seseorang menjatuhkan hati pada belahan jiwanya, semua terjadi begitu saja tanpa penjelasan dan rumit untuk dipaparkan.

Apa yang tidak diketahui oleh mereka orang-orang pelaku poligami adalah makna dari kesetiaan sehidup-semati. Patah hati BJ. Habibie saat kehilangan separuh hatinya sangat berkelas.

Akan berbeda halnya saat seorang beristri atau bersuami dua ditinggal pergi kekasih pertama. Kesedihan memang pasti namun mengingat dia masih memiliki belahan hati lainnya membuat kehilangan tidak sehancur itu. Well, ‘Sehancur’ itu terdengar sedikit subjektif, tidak ada tolok ukur pasti sehancur apa sebenarnya seseorang itu dan rasa-rasanya siapapun tidak berhak menghakimi dalamnya rasa sakit yang dialami. Sampai sini tidak usah meributkan tetangga yang ‘tega’ poligami, toh cinta dan kesetian kelihatannya tahu kepada siapa ia harus berlabuh.

Tidak hanya soal cinta, BJ. Habibie si Eyang lanjut usia berjiwa 17tahun itu begitu peduli dengan nasib anak muda tanah air. Dengan mengikuti perkembangan zaman dan selalu up to date beliau tidak lupa untuk selalu memotivasi, memberi inspirasi, serta semangat supaya generasi muda tidak tinggal diam dan hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri. Kata Eyang kemajuan negri ini tidak mungkin terjadi dengan mengharapkan kehadiran orang-orang dari negri luar. Intinya, rumah sendiri tanggung jawab sendiri. Betul saja, di saat kejeniusannya dipandang serius negara barat, Ia tidak lupa dengan kampung halaman. Eyang pulang membangun rumahnya, Ibu Pertiwi.

Meskipun tidak suka disebut pahlawan, sejatinya Ia adalah pahlawan sejati bangsa ini. Suri tauladan sepanjang masa.

Pada akhirnya dua insan itu dipertemukan kembali dalam dimensi yang sama, nirwana, keabadian. Cinta Habibie-Ainun tak pernah benar-benar hilang, selamanya akan selalu terkenang karena sampai sepanjang masa bumi pertiwi akan menjadi saksi dan bukti ketulusan hati dua sejoli.
Selamat jalan Eyang Habibie, salam untuk Eyang Putri.



-devi Simbolon

(ditulis pada September 2019)

Postingan populer dari blog ini

Happy Birthday to Me and You!

Untuk Eyang Sapardi Djoko Damono

Kata-kata Untuk Pertemanan