Sang Penolak Tradisi - Cerita Pendek (Cerpen)
Tepat
di tahun ke 29 Nia menapak dan bermukim di bumi. Angka 29 berarti setahun lagi
mencapai kepala tiga. Angka haram yang ditakutinya.
‘Akan bagaimana lagi tahun ini?
Siapa lagi yang menggerutu selain Ibu dan mbak Ratih?’ Desahnya ditemani
dentingan jam dinding kuno berwarna kuning yang memudar hingga terlihat coklat.
Baginya, hidup menjadi dewasa sangat menyeramkan. Ia tak paham mengapa ia harus
menjadi apa yang Ibu dan mbak Ratih harapkan. Mengapa semesta tak bisa dibantah
dengan komitmen? ‘Haruskah berbaur dengan ketakutan dan berteman dengan
penderitaan yang selama ini hinggap dan berdiam dalam pikiran ini? Aku tak
ingin menikah!’ Tekadnya dalam hati.
"bu,
sepertinya Nia mengurung diri" Ratih yang sedang menyiapkan makanan di
meja makan langsung angkat bicara setelah berulang kali memastikan matahari
sudah benar-benar terbit dari ujung jendela kayu yang sudah reot dan bunyi
memprihatinkan.
"sudahlah,
nanti kalau lapar pasti keluar. Ibu lelah beradu mulut." wanita tua yang dipanggil
ibu itu hanya bisa pasrah sambil sesekali menatap kamar Nia yang seolah tak bertuan.
"ah,
apa salahnya kawin saja? Kalau nanti sudah kepala tiga siapa lagi yang mau
melirik? Sudah tua tak segar lagi,"
"hushhh,
kamu ini. Jangan ngomong begitu. Sudahlah, Ibu tak mau ada pertengkaran lagi di
rumah ini" Ibu segera menyambar Ratih yang berbicara secepat cahaya
mentari menembus celah kayu rumah kumuh mereka.
"Bagaimana
nasibnya kalau kelak hanya jadi perawan tua? Bu, setidaknya dia harus
membahagiakan dirinya sendiri. Ratih juga kasihan, dia seperti kurang kasih
sayang lelaki."
"Ratih,
ibu tidak diam. Sudah bertahun-tahun ibu memintanya menikah. Tapi yg terjadi
hanya amarah. Ibu sudah renta menghadapi sikap batu nya yang tak terlawan itu.
Katanya dia sudah bahagia tanpa lelaki" Ibu pasrah seolah bebannya
terlalu berat untuk diumbar.
Pembicaraan
tentang Nia tak berhenti di situ saja, saat Ratih bertemu Akbar, suaminya,
mereka juga membahas hal yang sama dengan harapan menemukan solusi untuk
menyadarkan Nia.
"tapi
percuma,... " Akbar seolah berbicara pada diri sendiri.
"kita
coba lagi saja, Mas. Siapa tahu si Marham bisa meluluhkan ambisi Nia itu. Dengar-dengar
dia pandai mengambil hati wanita... "
Sudah menjadi tradisi setiap ulang
tahun Nia maka pembahasan seharian akan melulu soal Nia. Walaupun sebenarnya
hampir setiap hari Nia merasa semua orang memusingkan nasibnya.
Tak
jarang ia marah dan geram pada orang-orang yang menasihatinya dan sejak itu Nia
dikenal dingin dan tak bersahabat padahal dulunya ia gadis yang menjadi
penyejuk hati warga desa dengan keramahan dan senyum yang begitu indah.
‘Mengapa harus menikah? Apa yang
salah dengan angka 30? Mengapa warga desa yang tak berpendidikan harus begitu
peduli dengan angka yang sebenarnya hanyalah angka. Tak lebih dari itu!’
semakin lama ia merasa mengurung diri bukan cara yang tepat. Dengan
memberanikan diri, ia berjalan ke arah tudung saji yang menggugah seleranya.
“Sudah
lapar ya?” celetuk Ratih “nanti malam Marham mau ketemu“
“sudahlah
mbak, Nia makan dulu, nanti…”
“Mbak
juga capek ngobrol sama kamu” Ratih menangkis ucapan
Nia seolah tahu ke mana alur pembicaraan. “Nia, kamu harusnya malu jadi bahan
omongan tetangga, kamu sudah tua, sebentar lagi…”
“kepala
tiga! Iya Nia tahu. Lalu? Kenapa mbak sama saja dengan warga desa? Katanya mbak
seorang sarjana tapi pemikirannya sama dengan mereka yang lulus sd pun tidak”
“kawin
saja biar seorang sarjana ini tak harus sama dengan mereka!” kegeraman ratih
terlihat dari rahangnya yang mengeras.
“menjadi
tak sama itu pilihan!” Nia menancapkan jari telunjuknya di dada seperti seorang
pahlawan siap tempur yang membela tanah airnya.
Suasana
rumah hening dan dingin, tak ada kehangatan sejak sosok seorang ayah memilih
pergi demi pelacur, sejak ibu dan Ratih memaksa Nia menikah, dan tentu sejak Nia
bertekad untuk berubah.
‘Ini bukan yang ku inginkan’ Nia
berbisik pada angin. ‘Semesta begitu kejam membiarkan ku terpojok dengan
masalah yang sebenarnya sepele jika orang-orang berani berpikir dengan cara
berbeda. Apa yang terjadi jika aku tak menikah? Apakah desa akan lenyap ditelan
bumi hingga semua warga bahkan yang tak ku kenal sekalipun berani memberi ku
wejangan yang memuakkan?
Malam
ini aku bertekad meninggalkan rumah. Sepertinya aku perlu berkelana untuk memantapkan
komitmenku atau mungkin pula untuk kelak membawa calon suami. Mbak ratih,
sampaikan maafku pada Marham. Jika dia membawa singkong hasil panen bapaknya,
bilang saja dibawa pulang. Mbak, jika nanti keponakanku lahir ku harap dia bisa
hidup dengan kebebasan atas semua pilihannya. Salam juga untuk mas Akbar, dia
sudah berjanji akan benar-benar menjadi lelaki.
Ibu,
Sejujurnya Nia sama dengan wanita lain, pernah bermimpi untuk menikah, memiliki
suami, menjadi istri, dan mengasuh anak. Tetapi pengalaman mengajarkan arti
hidup yang sesungguhnya, membelokan Nia dari tradisi dunia yang sudah ku anggap
bukan sebuah kewajiban.
Perceraian
ayah dan ibu memang bukan keinginan kita, aku sadar kita semua tersakiti. semua
trauma. Tetapi aku telah bertanya berulang-ulang ke relung hati mengapa rasa
pedih yang menyayat itu tak kunjung sirna. Ia menggerogoti ku. Saat ayah pergi
ibu lah yang paling terpukul tetapi siapa yang akan disalahkan jika kepergian
ayah membuatku membenci kaum adam? Aku tidak membenci mereka karena mereka
lelaki, aku membenci saat mereka justru tak mampu menjadi seorang lelaki
sesungguhnya.
Bu
jelaskan pada Nia mengapa Nia harus takut saat seorang lelaki menaruh kasih?
Mengapa sulit sekali terbebas dari jeratan kelamnya masa lalu? Masih terngiang
saat bapak dan pelacur itu memuaskan birahi, saling bercumbu, beradu nafas, dan
merintih di dalam mobil tua yang melilit ibu dalam utang tak berkesudahan. Bu,
Nia menyaksikan semuanya, nista sekali. Maafkan aku yang tak berani berucap
sepatah kata pun. Semoga ibu memberi ruang dan waktu untuk Nia pulih dari
dekapan suramnya dunia ini.
Nia
pergi untuk sementara. Kelak saat aku telah memahami kejinya dunia ini, aku
akan kembali dan mencoba untuk bertarung. Doakan saja bu, karena tidak ada yang
tahu kalau-kalau anakmu ini justru semakin kekeh dengan komitmen sekarang. Satu
per satu dermaga akan Nia jalani untuk kelak berlabuh di suatu tempat.
Nia
sayang Ibu dan mbak Ratih.
------------------------------------------------------------The End-------------------------------------------------------------------
-devi Simbolon